Ini Dia Kelompok Politik Primitif

DALAM berbagai studi kemasyarakatan, berbagai ahli telah menaruh banyak perhatian terhadap kelompok sosial, di mana mereka melakukan klasifikasi terhadap jenis-jenis kelompok yang terdapat di dalam masyarakat. Robert Bierstedt misalnya, mengklasifikasikan kelompok masyarakat ke dalam empat jenis kelompok, yakni kelompok asosiasi, kelompok sosial, kelompok kemasyarakatan dan kelompok statistik. Ferdinand Tonnies mengklasifikan ke dalam gemeinschaft (society) dan gesselschaft (community). Sedangkan Robert K Merton mengklasifikasikan ke dalam membership group dan reference group, serta pengklasifikasian oleh berbagai ahli sosiologi lainnya.

Satu bentuk pengklasifikasian terhadap kelompok masyarakat yang menarik untuk diulas adalah suatu pengklasifikasian yang diperkenalkan oleh WG Sumner berupa in-group dan out-group. Sumner menjelaskan bahwa di dalam masyarakat terdapat kecenderungan diferensiasi berupa kelompok kita (we-group) atau kelompok dalam (in-group) dengan orang lain: kelompok orang lain (others-group) atau kelompok luar (out-group). Dalam hal ini, anggota kelompok dalam menganggap kelompok mereka sendiri sebagai pusat segala-galanya dan sebagai acuan kelompok luar. Sebagai contoh, Sumner mengacu pada orang Yahudi yang menganggap diri mereka sebagai “bangsa terpilih”, orang Yunani dan Romawi yang menganggap semua orang luar biadab (Kamanto Sunarto, 2004:130-131).

Klasifikasi Sumner ini hingga saat ini masih dijadikan acuan oleh para sosiolog dalam menganalisa gejala problema masyarakat yang berkembang saat ini. Zanden (1979) menguraikan penelitian Muzafer Sherif yang di dalamnya terdapat dua kelompok remaja yang berkemah bersama dibangkitkan rasa permusuhannya sehingga masing-masing kelompok mengembangkan perasaan kelompok dalam (in-group feeling) yang kuat serta permusuhan terhadap kelompok luar.

 Perasaan kelompok

Hasil penelitian Sherif tersebut dapat kita gunakan untuk menjelaskan rangkain perkelahian antara siswa berbagai sekolah lanjutan atas dan antara mahasiswa berbagai fakultas yang telah sekian lamanya melanda masyarakat kita. Perasaan kelompok dalam yang sangat kuat merupakan salah satu faktor penyebab mengapa konflik antarsiswa sekolah bahkan mampu berkembang menjad tindak pidana seperti perusakan harta benda, penganiayaan dan hingga pembunuhan.

Bukan hanya dalam gejala sosial, dalam bidang politik pun, kasus permusuhan in-group dan out-group ternyata telah menggejala. Kita pasti telah sering melihat terdapat kelompok-kelompok politik tertentu –yang biasanya atas landasan kepentingan dan motif yang cukup besar terhadap kekuasaan– menganggap kelompoknya sebagai kelompok politik yang paling unggul dan paling layak berkuasa. Pada dasarnya, bukanlah hal yang asing di dalam perpolitikan ketika setiap kelompok mengkampanyekan dirinya sebagai kelompok yang paling hebat. Semua kelompok politik harus mencari landasan yang kuat bagi keberadaan mereka dalam politik melalui simpati dan dukungan masyarakat. Jika mereka tidak mampu merasionalkan masyarakat bahwa kelompok mereka adalah kelompok terbaik, maka tentu harus segera siap-siap untuk angkat koper.

Namun situasi persaingan antarkelompok politik yang ada tidak sesederhana yang dibayangkan. Ada kalanya, persaingan yang terjadi mengarah pada tindakan-tindakan fatal. Yakni ketika terdapat anggota kelompok yang memiliki pola sikap cukup fanatik terhadap kelompoknya sendiri, menanamkan feeling in-group yang cukup dalam, merasa kelompoknya sebagai satu-satunya kelompok politik paling unggul sedangkang kelompok lainnya seolah musuh politik yang harus dilenyapkan bagaimanapun caranya. Hal ini tentu harus diwaspadai karena persaingan politik tidak mengharuskan antarkelompok menjadi musuh politik yang saling menghancurkan apa lagi hingga taraf-taraf tindakan yang tak pantas dan melangar hukum.

Adalah wajar jika pun suatu kelompok politik merasa dirinya paling unggul ketika nilai lebih yang ada padanya didasarkan pada kapasitas-kapasitas objektif yang patut dibanggakan pada dominan anggotanya, program dan visi strategis yang layak untuk ‘dijual’ dan memiliki track record yang cukup ideal –minimal tidak cacat. Namun permasalahannya, yakni ketika sebagian kelompok merasa paling hebat hanya dikarenakan faktor-faktor seperti mitos sejarah, nilai dan keyakinan subjektif serta simbol-simbol feodalistik tertentu. Konsep berpikir yang jauh dari ciri manusia modern.

Permasalahan lain timbul ketika in-group feeling yang telah terlalu dalam dimiliki sebuah kelompok dibarengi oleh kepemilikan terhadap kekuasaan yang terpusat dan berlebihan (over power) sehingga memicu dan menjadi alat ampuh baginya untuk dengan mudahnya menyingkirkan kelompok lain. Bertrand Russel dalam bukunya Principles of Social Reconstruction mengembangkan sebuah analisa mengenai kekuatan yang terpusat menggunakan analisa psikologi mengenai sifat manusia. Russel menyatakan bahwa orang-orang yang menyandang over power biasanya tidak mampu melakukan perundingan persahabatan dengan pihak lain. Pembengkakan kekuatan akan memperdalam nafsu atau naluri untuk berkonflik, oleh karena itu pihak yang over power akan lebih suka bermusuhan dan berperang daripada yang kekuasaannya tersebar secara merata.

Tentu saja sikap kelompok Yahudi yang merasa paling unggul ditambah dengan kepemilikan kekuatan dan kekuasaan yang terlalu besar, sehingga menjadi dasar untuk menyingkirkan kelompok lainnya yang dianggap menganggu kepentingan dan dianggap mengancam eksistensi mereka sebagai ras paling hebat. Demikian halnya sikap kelompok Nazi Jerman serta ras Arya yang berperilaku sama hingga melakukan genosida terhadap kaum Yahudi, merupakan pola sikap immoral yang tidak pantas dijadikan contoh karena cenderung mengarah pada perilaku menyimpang dan psikologi politik yang abnormal.

Faktor lain yakni frustasi-agresi, seperti yang dikemukakan oleh Banton (1967), dapat menjadi dasar prasangka untuk bertikai dengan kelompok lain, dimana suatu kelompok akan melakukan agresi manakala usahanya untuk memperoleh kepuasan terhalang, baik terhadap kelompok yang secara langsung menghalangi kepentingannya atau terhadap kelompok lainnya yang dijadikan “kambing hitam”.

Dalam bidang politik, kecenderungan pola hubungan dan sikap yang demikian semakin terlihat jelas. Di mana ketika terdapat suatu kelompok politik tertentu yang baik secara terang-terangan maupun terselubung menggunakan cara-cara berupa intimidasi, kekerasan fisik, pengrusakan terhadap fasilitas bahkan hingga taraf pembunuhan terhadap anggota kelompok lain. Secara politis, suatu kelompok bahkan menggunakan cara-cara inkonstitusional sebagai upaya menghadang kelompok lain untuk memperoleh hak politik yang setara melalui mekanisme hukum yang bertentangan dengan nilai-nilai demokratis.

Masyarakat primitif

Hal yang perlu diketahui adalah bahwa metode pengklasifikasian berupa in-group dan out-group merupakan metode yang digunakan oleh Sumner untuk mengklasifikasikan jenis masyarakat primitif. Sumner dengan gambling mengemukakan bahwa masyarakat primitif memiliki kecenderungan terbesar terhadap pola sikap di mana in-group feeling yang sangat kuat dan mengarah pada sikap persahabatan, keteraturan, kerjasama dan perdamaian terhadap sesama, sedangkan terhadap out-group dengan frontal cenderung memiliki sikap permusuhan, kebencian, perang, perampokan bahkan diwariskan dari suatu generasi ke generasi yang lain dan menanamkan kewajiban untuk merampok, memperbudak dan membunuh anggota kelompok out-group.

Masyarakat modern akan mengembangkan hubungan antarkelompok ke arah perdamaian, integrasi, pluralisme, toleransi, fair play, dan demokratis. Kita tidak mungkin dapat menghilangkan unsur perbedaan di dalam kelompok masyarakat. Namun bukan saatnya lagi menggunakan kekerasan, prasangka, antagonis apalagi upaya penyingkiran paksa terhadap kelompok lain atas dasar kepentingan apapun, karena kita bukan lagi jenis masyarakat primitif.

Tinggalkan komentar